|
Sumber : http://kmf.or.id/wp-content/uploads/2015/01/kiai-sahal_663_382.jpg |
Oleh KH MA Sahal Mahfudh
Setiap institusi agama ataupun yang lain,
memberikan kedudukan sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Dalam Islam, ilmu
pengetahuan menduduki posisi utama, karena ia adalah sarana yang paling tepat
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
<>Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda: "Barang
siapa menghendaki kehidupan dunia, maka ia harus berilmu, begitu juga apabila
ia menghendaki kehidupan akhirat. Apalagi jika ia menghendaki keduanya (dunia
dan akhirat)".
Yang dimaksud science di
sini adalah ilmu pengetahuan dalam pengertian yang luas, bukan dalam batasan
satu nilai atau disiplin tertentu. Secara kontinyu ilmu pengetahuan berkembang
dengan pesat dan sangat dipengaruhi oleh aspek kehidupan yang luas, mulai dari
ekonomi, sosial, budaya dan juga apresiasi intelektual masyarakat. Akan tetapi
di balik itu, proses perkembangan tersebut sangat bergantung pada lembaga
pendidikan.
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan dengan totalitas kepribadiannya yang khas, selalu
memberikan kebebasan untuk menentukan pola dinamis kebijaksanaan pendidikannya.
Sehingga setiap tawaran pengembangan, baik benupa transfer dari luar
(non-pesantren) mau pun atas prakarsa sendiri, tentunya akan melalui sektor
pertimbangan dari dalam pesantren sendiri yaitu pertimbangan tata nilai yang
telah ada dan berlaku di pesantren selama ini.
Istilah
"pesantren" mulai dikenal sejak pertama kali lembaga itu didirikan.
Untuk mengetahui sejarah pesantren, ada beberapa pendapat yang umum berlaku. Di
antaranya disebutkan, pertama kali pesantren didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim
di Gresik pada awal abad ke-17 (tahun 1619 M).
Dalam
perjalanannya, pesantren begitu mengakar di tengah-tengah masyarakat dengan
prestasi yang sangat kentara, yaitu munculnya para alumni pesantren yang
mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai yang tangguh dan
mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, dibarengi dengan
kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan. Hal ini
berangkat dari titik tekan pesantren sebagai lembaga tafaqquh
fiddin yang senantiasa dipertahankan dan kemauan membuka diri
dari segala perubahan dan perkembangan zaman.
Akan tetapi,
satu dan lain hal yang perlu dimengerti adalah keteguhan sikap para pendiri
pesantren yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda pada
waktu dulu, sehingga segala bentuk kegiatan pendidikan pesantren tidak
diproyeksikan untuk memproduksi tenaga kerja. Maka, ijasah-ijasah formal pun
pada awalnya sama sekali tidak dikenal oleh kalangan pesantren. Pesantren hanya
terfokus pada pandangan dasar thalab
al-'ilmi li wajhi Allah. Prinsip demikian ini masih dapat ditemui
di beberapa pesantren sampai sekarang.
Sistem
pendidikan pesantren yang ditempuh selama ini memang menunjukkan sifat dan
bentuk yang lain dari pola pendidikan nasional. Akan tetapi hal ini tidaklah
bisa diartikan sebagai sikap isolatif, apalagi eksklusif pesantren terhadap
komunitas yang lebih luas. Pesantren pada dasarnya memiliki sikap integratif
yang partisipatif terhadap pendidikan nasional.
Pendidikan
nasional yang tertuang dalam GBHN bertujuan meningkatkan ketakwaan terhadap
Tuhan YME, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia.
Dari sinilah, meskipun pola penyelenggaraan pendidikan pesantren berbeda dengan
pendidikan nasional, akan tetapi ia tetap merupakan suatu lembaga pendidikan
yang mendukung dan menyokong tercapainya tujuan pendidikan nasional. Secara
institusional dan melalui pranata yang khas, pesantren merangkum upaya
pengembangan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya.
Pola dasar
pendidikan pesantren terletak pada relevansinya dengan segala aspek kehidupan.
Dalam hal ini, pola dasar tersebut merupakan cerminan untuk mencetak santrinya
menjadi insan yang shalih dan akram. Shalih, berarti manusia yang secara
potensial mampu berperan aktif, berguna dan terampil dalam kaitannya dengan
kehidupan sesama makhluk. Filosofi "shalih" diambil dari surat
Al-Anbiya' 105:
“Sesungguhnya
bumi ini diwariskan kepada orang-orang yang shalih”.
Sehingga untuk
melestarikan bumi seisinya beserta seluruh tatanan kehidupannya, pesantren coba
membekali santrinya dengan ilmu pengetahuan yang punya implikasi sosial
menyeluruh dan mendasar. Seperti: ilmu pertanian, ilmu politik, teknologi,
perindustrian, ilmu kebudayaan dan lain sebagainya. Menurut kalangan pesantren,
pengkajian ilmu-ilmu semacam itu bersifat kolegial (fardlu
kifayah).
Sementara
"akram" merupakan pencapaian kelebihan dalam kaitan manusia sebagai
makhluk terhadap khaliqnya, untuk mencapai kebahagian di akhirat, seperti
firman Allah dalam Al-Qur'an:
“Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu seklian di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa.”
Dalam kaitan
ini, pesantren secara institusional telah menekankan pendalaman terhadap ilmu
pengetahuan keagamaan (tafaqquh fiddin).
Berangkat dari
sikap pendirinya pada sebelum masa kemerdekaan yang sama sekali tidak mau
bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, maka pesantren praktis menolak
campur tangan pemerintah. Akibatnya kesan tertutup dan eksklusif begitu lekat
di tubuh pesantren. Akan tetapi setelah masa kemerdekaan, pesantren mulai
membuka diri seluas-luasnya kepada ‘dunia luar’ dengan digalangnya banyak
kerjasama antara pesantren dan pemerintah atau dengan lembaga-lembaga lain,
seperti LSM-LSM di negeri ini.
Macam dan
bentuk pesantren yang amat banyak, sebanyak kiai yang mempunyai otoritas
tertinggi atas pesantren, adalah hal yang selama ini menjadi sorotan para ahli
dan pengamat masalah pesantren. Namun justru dari keberagaman bentuk pesantren
inilah, akan dapat dicapai insan kamil. Adalah mustahil, bila kesempurnaan
tersebut dicapai dengan bentuk pendidikan yang hanya satu macam.
Pesantren
dengan tujuan utamanya mencetak insan yang shalih dan akram,
merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai implikasi dunia dan akhirat. Tidak
hanya shalih saja, akan tetapi juga akram. Keduanya haruslah tidak terpisahkan,
sehingga di samping mendalami ilmu-ilmu keagamaan, pesantren juga harus mulai
mendalami ilmu pengetahuan umum. Apalagi pesantren telah melebarkan sayap
dengan membentuk lembaga madrasah sebagai lembaga pendidikan klasikal dan
perguruan tinggi yang kian hari semakin ditingkatkan mutu manajerialnya dan
proses belajar mengajarnya.
Pesantren yang
lahir dan berbasis di pedesaan, di dalamnya terbentuk suatu miniatur kehidupan
masyarakat luas. Ia adalah sebuah lembaga yang memiliki kemnungkinan dan
kesempatan besar membentuk kader berwawasan sosial dan peka terhadap
lingkungannya, di samping memupuk ketakwaan terhadap Allah SWT.
Prospek
pengembangan ilmu pengetahuan merupakan tanggung jawab semua kalangan lembaga
pendidikan, tanpa memandang pada dasar pendidikan yang dianut. Hanya saja,
skala prioritas penekanan terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkan,
berlainan antara satu lembaga pendidikan dengan yang lain. Sementara pesantren
lebih menekankan pada pengetahuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya,
sesuai dengan nafas dan tuntutan Islam.
Untuk lebih
mendukung adanya pengembangan ilmu pengetahuan secara pesat, pesantren masih saja
memperhatikan sistem pendidikannya sendiri. Dalam hal ini, transfer ilmu
pengetahuan dan teknologi akan terus dilaksanakan, sejauh tetap menyelamatkan
nilai-niilai dan identitas pesantren, sehingga tidak hanyut oleh
perubahan-penubahan. Dalam kaitan ini, pesantren memiliki prinsip:
“Memelihara
sistematika dan metodologi lama yang masih relevan dan mengambil serta
mengembangkan cara baru yang lebih baik".
Dengan
demikian pesantren tidak akan pernah terkesan sebagai lembaga pendidikan
konvensional yang menutup diri dan mengisolasi dari perkembangan kehidupan.
*) Diambil
dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa
Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan dalam
Dinamika Islam RRI Stasion Regional I Semarang, Sahur ke-18 Ramadlan 1412 H.
Judul asli Pesantren Membentuk Generasi Iptek dan Bertakwa.