Thursday, April 14, 2016

Mbah Manshur Kudus - Al-Lail (Qiraat sab'at version)


Romo KH. KH. Muhammad Mansur Maskan (alm) merupakan murid kesayangan dari Asy-Syaikh al-Muqri' Simbah Romo KH. Muhammad Arwani Amin (Kudus). Selain mendapatkan sanad Qiraat Sab'at dari Simbah Arwani, Mbah Manshur dikenal memiliki suara yang indah.

Dengan niat untuk ngalap barokah dari para Kiai, monggo dinikmati alunan suara dari Mbah Manshur dalam melantunkan surat Al-Lail dengan Qiraat Sab'at..

Download disini

KEMULIYAAN HAAMILUL QUR'AN (Penghafal Al-Qur'an)

Sumber : FB Thoriqoh Yanbu'a
AKU ORA KEPINGIN MULYAKNO AWAKMU, TAPI AKU PINGIN HURMAT MARANG ALQUR'AN SENG ONO NOK NJERO NING ATIMU
Disampaikan oleh :
Syaikhona Romo KH. Manshur Maskhan

غفراللهُ لهُ ذنوبهُ الفاتحه.......
dalam sebuah pengajian kitab ATTIBYAN FII ADABI HAMALATIL QUR'AN...
Beliau menerangkan sebuah Hadits dimana Hadits ini supaya diperhatikan untuk orang yang bukan seorang Haamilul Qur'an.

حامِلُ القُرأن حامِلُ رايَةالإسلام
فمن أكرمَهُ فقَد أكرمَ الله
فمن ءاهَنَهُ فَعَلَيهِ لَعنَةُالله

Orang yang Hafal Alqur'an,
(Besok dihari Mahsyar) Adalah Pembawa Bendera Agama Islam.
Barang siapa yang Memuliyakannya (Hamilul Qur'an),
Maka Sungguh Allah SWT Akan memulyakannya.
Dan barangsiapa yang Sengit/Benci (Hamilul Qur'an),
Maka Sungguh Allah SWT Sengit/Benci pada nya.

Alkisah...
Sewaktu Beliau (Yai Manshur) Nderek aken Simbah Arwani dalam sebuah Acara Hataman di Pondok Jawa Timur, tepatnya di Pondok Simbah Kiyai Hamid Pasuruan. Yai Manshur tidak mau duduk di tempat atas yang sudah disiapkan sebelumnya, bersanding dengan para Kiyai dan Masyayikh lain yang diantaranya Simbah Arwani. Sampai simbah Arwani Memanggilnya...

"Manshur.... Kemarilah... !!! Duduklah disampingku..."
Yai Manshur menjawab, "Mboten Mbah... saya dibawah sini saja" (Kumpul dengan Orang-orang umum)
Simbah Arwani Memanggilnya kembali...
"Manshur... Kemarilah,Duduk disampingku."
Yai Manshur tetap Enggan Beranjak dari tempat duduknya....

Akhirnya Simbah Yai Hamid bangkit dan menghampiri Yai manshur ditempat duduknya yang kumpul dengan orang umum. Dengan mimik wajah yang agak kesal, Simbah Kiyai Hamid Dawuh seolah ndukani Yai Manshur....
"AKU ORA KEPINGIN MULYAKNO AWAKMU, TAPI AKU PINGIN HURMAT MARANG ALQUR'AN SENG ONO NOK NJERO NING ATIMU" (Aku tidak ingin memuliyakan dirimu, Tapi Aku hanya Inginmemuliyakan Alqur'an yang ada dalam hatimu)

Subhanallaah... Yai Manshur dengan linangan air mata keharuan ahirnya beranjak duduk disamping simbah Arwani.

Semoga dan Semoga sedikit Kisah ini mampu membuat kita semua untuk semakin mencintai Alqur'an serta menghormati Haamilul Qur'an. Sebagai mana Auliya' Allah simbah Hamid yang terkenal Ke'alimannya dalam memuliakan seorang Khodim Simbah Arwani...

Sumber : Thoriqoh Yanbu'a

Monday, April 11, 2016

Bulan Rajab, Menurut KH. Sholeh Darat (1)


Amalan Bulan Rajab - Bulan Rajab sangat banyak dinanti oleh orang Islam. Sebab bulan ini semakin mendekatkan hadirnya bulan Ramadan yang sangat agung. Oleh sebab itu, perlu kembali kita renungkan bagaimana KH Sholeh bin Umar Assamarani (dikenal Mbah Sholeh Darat) menjelaskan tentang fadlilah bulan Rajab ini.

Dalam Kitab Lathaifut Thaharah wa Asrarus Sholat karya Mbah Sholeh Darat halaman 83-88 dituliskan bab khusus tentang "Bab Fadlilah Rajab". Kitab yang ditulis dengan pegon dan diterbitkan oleh Thoha Putra Semarang ini sangat detail menjelaskan keutamaan Rajab merujuk pada hadits Nabi. (Baca Duta Islam: Fasholatan Kyai Soleh Darat)

KH Sholeh menjelaskan: "Nabi bersabda: 'Barang siapa yang mengucapkan kalimat سبحان الحي القيوم sebanyak 100 kali tiap hari pada sepuluh hari awal Rajab, mengucap سبحان الاحد الصمد sebanyak 100 kali tiap hari pada sepuluh hari kedua, dan mengucap سبحان الرؤف sebanyak 100 kali tiap hari pada sepuluh hari ketiga, maka tidak ada orang yang bisa menghitung pahalanya".

Hadits ini memberikan pengertian tentang bacaan atau wirid yang perlu didawamkan untuk dibaca setiap hari di bulan Rajab. Dan pahala yang didapatkan sangat banyak sekali, sehingga tidak bisa dihitung. (Baca Duta Islam: Cara Mbah Sholeh Darat Mendidik Orang Awam)

Dan Rasulullah Saw juga menyampaikan bahwa bulan Rajab adalah bulannya Allah Swt, sedangkan bulan Sya'ban adalah bulannya Rasulullah, sementara bulan Ramadan merupakan bulannya umat Muhammad. Maka Nabi selanjutnya menegaskan bahwa siapa saja yang menjalankan puasa sehari di bulan Rajab murni karena Allah tanpa niat lainnya, maka akan selalu mendapatkan ridla agung Allah dan dijanjikan tempat surga Firdaus.

Sedangkan pahala puasa Rajab dua hari akan mendapatkan kelipatan dua kali hitungan semua gunung di dunia. Puasa tiga hari mendapat pahala penghalang neraka. Puasa empat hari mendapat pahala diselamatkan dari segala bala' yang menimpa semacam junun, judzam dan barash serta diselamatkan dari fitnah Dajjal.

Sedangkan pahala puasa selama lima hari akan selamat dari siksa kubur. Pahala puasa enam hari adalah jaminan wajahnya bersinar saat keluar dari qubur sebagaimana sinar rembulan tanggal empat belas. (Baca Duta Islam: Keramat Mbah Sholeh Darat)

Adapun puasa tujuh hari adalah ditutupnya tujuh pintu neraka. Untuk pahala puasa di bulan Rajab delapan hari adalah dibukakan delapan pintu surga. Pahala puasa sembilan hari adalah akan bangun dari qubur dengan memanggil kalimat لا اله الا الله dan langsung masuk surga. Dan pahala sepuluh hari berpuasa adalah jalan mulus menuju shiratal mustaqim.

Mbah Sholeh Darat masih melanjutkan pahala puasa sebelas hari adalah tidak akan mendapat tandingan pahala kecuali orang yang sama menjalankan puasa 11 hari. Dan pahala puasa dua belas hari adalah mendapatkan pengakuan sebagai hamba yang mulia dibandingkan dunia dan seisinya. [dutaislam.com/ab]

Bersambung.....


Oleh M Rikza Chamami, Wakil Ketua KOPISODA (Komunitas Pecinta Mbah Sholeh Darat), alumnus Qudsiyyah dan Dosen UIN Walisongo

Sunday, April 10, 2016

Orang Alim dibanding Orang Bodoh



Dalam sebuah Hadist dikisahkan bahwa suatu tempo Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallammendatangi pintu masjid, di situ beliau melihat setan berada di sisi pintu masjid. Kemudian Nabi SAW bertanya, "Wahai Iblis apa yang sedang kamu lakukan di sini?" Maka Setan itu menjawab, "Saya hendak masuk masjid dan akan merusak shalat orang yang sedang shalat ini, tetapi saya takut pada seorang lelaki yang tengah tidur ini."

Lalu Nabi SAW berkata, "Wahai Iblis, kenapa kamu bukannya takut pada orang yang sedang shalat, padahal dia dalam keadaan ibadah dan bermunajat pada Tuhannya, dan justru takut pada orang yang sedang tidur, padahal ia dalam posisi tidak sadar?" Iblis pun menjawab, "Orang yang sedang shalat ini bodoh, mengganggu shalatnya begitu mudah. Akan tetapi orang yang sedang tidur ini orang alim (pandai)."

Dari Ibnu Abbas radliyallâhu ‘anh, Nabi SAW bersabda, "Nabi Sulaiman pernah diberi pilihan antara memilih ilmu dan kekuasaan, lalu beliau memilih ilmu. Selanjutnya, Nabi Sulaiman diberi ilmu sekaligus kekuasaan.

Bersumber dari Abi Hurairoh radliyallâhu ‘anh, Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallambersabda, "Barangsiapa pergi menuntut ilmu maka Allah akan menunjukkannya jalan menuju surga. Sesungguhnya orang alim senantiasa dimintakan ampunan untuknya oleh makhluk yang berada di langit maupun di bumi, hingga dimintakan ampun oleh ikan-ikan di laut. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi."

Hadits di atas menyiratkan betapa agama Islam begitu memuliakan, mengutamakan, dan menghargai orang yang berilmu pengetahuan. Bahkan melebihi keutamaanya orang yang ahli ibadah tapi bodoh. Menjadi jelas pula bahwa dalam agama Islam, menuntut ilmu dan mengembangkan budaya ilmiah itu termasuk bagian dari ibadah, juga merupakan tuntutan agama. Jadi tidak semata desakan kebutuhan zaman atau tuntutan dari institusi negara an sich. Itulah kunci mengapa dahulu pada masa kegemilangan peradaban Islam, banyak lahir ilmuan-ilmuan besar Muslim yang sumbangsihnya telah diakui dunia dalam banyak cabang keilmuan. Mereka menekuni disiplin keilmuan atas motif ajaran Islam, bukan tuntutan negara (daulah) waktu itu. 

"Samakah antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS. Al-zumar: 9)"

Begitu peduli dan perhatiannya agama Islam akan pentingnya ilmu pengetahuan, banyak pula ayat Al-Qur'an memberi dorongan dan motivasi agar seseorang mencintai ilmu, di antaranya ayat itu, "Samakah antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS. Al-zumar: 9). Tak hanya itu, Al-Qur'an sendiri mengajarkan umat manusia berdoa kepada Tuhannya agar senantiasa ditambahkan ilmu pengetahuan, "Dan katakanlah, Ya Tuhanku, tambahkanlah pengetahuan kepadaku".

Di ayat lain Allah juga berfirman, "Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat" (Al-Mujaadalah: 11).

Berjibunnya apresiasi, penghargaan dan dorongan yang bersumber baik dari al-Qur'an ataupun Sunnah Nabi sebagaimana di atas seyogianya membuat kaum muslim pada saat ini khususnya yang masih berstatus mahasiswa, pelajar dan santri bisa lebih giat dan tekun lagi dalam mempelajari suatu ilmu dan mengembangkan tradisi ilmiah. Pun menyadarkan bahwa menurut pandangan Islam kegiatan dan aktivitas belajar dan menuntut ilmu baik di lembaga pendidikan formal atau nonformal yang ditempuh oleh seorang Muslim orientasinya tidak melulu mengejar ijazah, gelar dan jabatan tertentu, melainkan perlu diinsyafi pula bahwa belajar itu merupakan kewajiban tiap muslim dalam upaya mentaati perintah agama. Wallahu a'lam 

M Haromain, pengajar di Pondok Pesantren Nurun ala Nur Wonosobo; penulis lepas, bergiat di Forum Intlektual Santri Temanggung.

sumber : NU Online

Friday, March 4, 2016

Pesantren Membentuk Generasi Bertakwa

Sumber : http://kmf.or.id/wp-content/uploads/2015/01/kiai-sahal_663_382.jpg

Oleh KH MA Sahal Mahfudh

Setiap institusi agama ataupun yang lain, memberikan kedudukan sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Dalam Islam, ilmu pengetahuan menduduki posisi utama, karena ia adalah sarana yang paling tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencapai kebahagiaan dunia akhirat. <>Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda: "Barang siapa menghendaki kehidupan dunia, maka ia harus berilmu, begitu juga apabila ia menghendaki kehidupan akhirat. Apalagi jika ia menghendaki keduanya (dunia dan akhirat)".

Yang dimaksud science di sini adalah ilmu pengetahuan dalam pengertian yang luas, bukan dalam batasan satu nilai atau disiplin tertentu. Secara kontinyu ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dan sangat dipengaruhi oleh aspek kehidupan yang luas, mulai dari ekonomi, sosial, budaya dan juga apresiasi intelektual masyarakat. Akan tetapi di balik itu, proses perkembangan tersebut sangat bergantung pada lembaga pendidikan.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan dengan totalitas kepribadiannya yang khas, selalu memberikan kebebasan untuk menentukan pola dinamis kebijaksanaan pendidikannya. Sehingga setiap tawaran pengembangan, baik benupa transfer dari luar (non-pesantren) mau pun atas prakarsa sendiri, tentunya akan melalui sektor pertimbangan dari dalam pesantren sendiri yaitu pertimbangan tata nilai yang telah ada dan berlaku di pesantren selama ini.

Istilah "pesantren" mulai dikenal sejak pertama kali lembaga itu didirikan. Untuk mengetahui sejarah pesantren, ada beberapa pendapat yang umum berlaku. Di antaranya disebutkan, pertama kali pesantren didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim di Gresik pada awal abad ke-17 (tahun 1619 M).

Dalam perjalanannya, pesantren begitu mengakar di tengah-tengah masyarakat dengan prestasi yang sangat kentara, yaitu munculnya para alumni pesantren yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai yang tangguh dan mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, dibarengi dengan kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan. Hal ini berangkat dari titik tekan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin yang senantiasa dipertahankan dan kemauan membuka diri dari segala perubahan dan perkembangan zaman.

Akan tetapi, satu dan lain hal yang perlu dimengerti adalah keteguhan sikap para pendiri pesantren yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda pada waktu dulu, sehingga segala bentuk kegiatan pendidikan pesantren tidak diproyeksikan untuk memproduksi tenaga kerja. Maka, ijasah-ijasah formal pun pada awalnya sama sekali tidak dikenal oleh kalangan pesantren. Pesantren hanya terfokus pada pandangan dasar thalab al-'ilmi li wajhi Allah. Prinsip demikian ini masih dapat ditemui di beberapa pesantren sampai sekarang.

Sistem pendidikan pesantren yang ditempuh selama ini memang menunjukkan sifat dan bentuk yang lain dari pola pendidikan nasional. Akan tetapi hal ini tidaklah bisa diartikan sebagai sikap isolatif, apalagi eksklusif pesantren terhadap komunitas yang lebih luas. Pesantren pada dasarnya memiliki sikap integratif yang partisipatif terhadap pendidikan nasional.

Pendidikan nasional yang tertuang dalam GBHN bertujuan meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan YME, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia. Dari sinilah, meskipun pola penyelenggaraan pendidikan pesantren berbeda dengan pendidikan nasional, akan tetapi ia tetap merupakan suatu lembaga pendidikan yang mendukung dan menyokong tercapainya tujuan pendidikan nasional. Secara institusional dan melalui pranata yang khas, pesantren merangkum upaya pengembangan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya.

Pola dasar pendidikan pesantren terletak pada relevansinya dengan segala aspek kehidupan. Dalam hal ini, pola dasar tersebut merupakan cerminan untuk mencetak santrinya menjadi insan yang shalih dan akram. Shalih, berarti manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna dan terampil dalam kaitannya dengan kehidupan sesama makhluk. Filosofi "shalih" diambil dari surat Al-Anbiya' 105:
Sesungguhnya bumi ini diwariskan kepada orang-orang yang shalih”.

Sehingga untuk melestarikan bumi seisinya beserta seluruh tatanan kehidupannya, pesantren coba membekali santrinya dengan ilmu pengetahuan yang punya implikasi sosial menyeluruh dan mendasar. Seperti: ilmu pertanian, ilmu politik, teknologi, perindustrian, ilmu kebudayaan dan lain sebagainya. Menurut kalangan pesantren, pengkajian ilmu-ilmu semacam itu bersifat kolegial (fardlu kifayah).

Sementara "akram" merupakan pencapaian kelebihan dalam kaitan manusia sebagai makhluk terhadap khaliqnya, untuk mencapai kebahagian di akhirat, seperti firman Allah dalam Al-Qur'an:
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu seklian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.”

Dalam kaitan ini, pesantren secara institusional telah menekankan pendalaman terhadap ilmu pengetahuan keagamaan (tafaqquh fiddin).

Berangkat dari sikap pendirinya pada sebelum masa kemerdekaan yang sama sekali tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, maka pesantren praktis menolak campur tangan pemerintah. Akibatnya kesan tertutup dan eksklusif begitu lekat di tubuh pesantren. Akan tetapi setelah masa kemerdekaan, pesantren mulai membuka diri seluas-luasnya kepada ‘dunia luar’ dengan digalangnya banyak kerjasama antara pesantren dan pemerintah atau dengan lembaga-lembaga lain, seperti LSM-LSM di negeri ini.

Macam dan bentuk pesantren yang amat banyak, sebanyak kiai yang mempunyai otoritas tertinggi atas pesantren, adalah hal yang selama ini menjadi sorotan para ahli dan pengamat masalah pesantren. Namun justru dari keberagaman bentuk pesantren inilah, akan dapat dicapai insan kamil. Adalah mustahil, bila kesempurnaan tersebut dicapai dengan bentuk pendidikan yang hanya satu macam.

Pesantren dengan tujuan utamanya mencetak insan yang shalih dan akram, merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai implikasi dunia dan akhirat. Tidak hanya shalih saja, akan tetapi juga akram. Keduanya haruslah tidak terpisahkan, sehingga di samping mendalami ilmu-ilmu keagamaan, pesantren juga harus mulai mendalami ilmu pengetahuan umum. Apalagi pesantren telah melebarkan sayap dengan membentuk lembaga madrasah sebagai lembaga pendidikan klasikal dan perguruan tinggi yang kian hari semakin ditingkatkan mutu manajerialnya dan proses belajar mengajarnya.

Pesantren yang lahir dan berbasis di pedesaan, di dalamnya terbentuk suatu miniatur kehidupan masyarakat luas. Ia adalah sebuah lembaga yang memiliki kemnungkinan dan kesempatan besar membentuk kader berwawasan sosial dan peka terhadap lingkungannya, di samping memupuk ketakwaan terhadap Allah SWT.

Prospek pengembangan ilmu pengetahuan merupakan tanggung jawab semua kalangan lembaga pendidikan, tanpa memandang pada dasar pendidikan yang dianut. Hanya saja, skala prioritas penekanan terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkan, berlainan antara satu lembaga pendidikan dengan yang lain. Sementara pesantren lebih menekankan pada pengetahuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya, sesuai dengan nafas dan tuntutan Islam.

Untuk lebih mendukung adanya pengembangan ilmu pengetahuan secara pesat, pesantren masih saja memperhatikan sistem pendidikannya sendiri. Dalam hal ini, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi akan terus dilaksanakan, sejauh tetap menyelamatkan nilai-niilai dan identitas pesantren, sehingga tidak hanyut oleh perubahan-penubahan. Dalam kaitan ini, pesantren memiliki prinsip:

“Memelihara sistematika dan metodologi lama yang masih relevan dan mengambil serta mengembangkan cara baru yang lebih baik".
Dengan demikian pesantren tidak akan pernah terkesan sebagai lembaga pendidikan konvensional yang menutup diri dan mengisolasi dari perkembangan kehidupan.

*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan dalam Dinamika Islam RRI Stasion Regional I Semarang, Sahur ke-18 Ramadlan 1412 H. Judul asli Pesantren Membentuk Generasi Iptek dan Bertakwa.
Sumber : NU Online

Tuesday, February 16, 2016

Sunday, February 14, 2016

Wednesday, February 10, 2016

Kitab Karya Ulama Nusantara

PESANTREN DAN ISLAMISASI NUSANTARA


Pada Milenium ketiga Masehi, Islam tetap menjadi agama mayoritas di negeri Indonesia ini, dan mungkin akan tetap demikian hingga akhir dunia ini. Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak yang ada di dunia.
Sebagaimana hasil tidak akan jauh dari usaha, proses Islamisasi negeri yang dulunya dikenal dengan sebutan Nusantara ini juga sangatlah menakjubkan. Proses ini merupakan satu fase yang tak terpisahkan dalam menuju sebuah peradaban Indonesia modern. Proses ini sangat luar biasa, mengingat proses perluasan Islam di wilayah ini terjadi tatakala pusat peradaban Islam di Timur Tengah sedang berada dalam kemunduran kekuatan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Proses ini berlangsung antara abad ke-13 sampai dengan abad ke-16.
Di dalam buku Tradisi Pesantren, Zamakhsyari Dlofir mencatat bahwa Pesantren merupakan anak panah dari proses penyebaran Islam ke seluruh pelosok negeri. Pesantren lah yang menentukan corak dan watak dari kesultanan-kesultanan yang ada di Indonesia. Di lembaga pesantren itu pula ditemukan manuskrip-manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara. Sehingga untuk dapat mengetahui sejarah Islamisasi di wilayah Nusantara, haruslah memulainya dengan mempelajari lembaga-lembaga pesantren.
Barus, suatu daerah di Sumatera Utara, disebut-sebut telah berkembang menjadi daerah Kosmopolitan dari abad ke-10 hingga abad ke-15. Hal ini ditandai dengan ditemukannya beberapa inskripsi yang berbahasa Arab dan sebagian berbahasa Parsi. Pada abad itu, Islam berkembang menjadi kekuatan besar yang menakjubkan dan menjadikan kawasan Indonesia menjadi kawasan yang paling dinamis. Hal ini dicatat oleh Anthony Reid dalam bukunya Southeast Asia in The Age of Commerce. Barus dikenal sebagai kawasan pengekspor minyak wangi yang disukai oleh para bangsawan dan pangeran Arab, Persia, dan Cina, bahkan bangsawan Cina telah menyukai minyak wangi Barus sejak abad ke-6.
Karena pengguna minyak wangi Barus adalah para pangeran dan bangsawan dari negeri yang paling maju dan dinamis, maka harga dari minyak wangi Barus dapat dipastikan sangat mahal harganya. Ada sebuah tradisi yang berkembang di dunia Muslim, bahwa para pedagang muslim menyediakan amal jariyyah bagi ulama yang bersedia menemani para pedagang untuk tinggal dan mengembangkan aktivitas serta pengajaran pendidikan Islam di daerah asalnya, yakni di Barus.
Para ulama’ atau syaikh yang mengiringi ke Barus diyakini memiliki keilmuwan yang tinggi. Pasalnya dalam 200 tahun kemudian, di wilayah ini sudah dapat menumbuhkan kesultanan Lamreh menjelang tahun 1200. Di kekuasaan kesultanan inilah, kemudian oleh Ricklefs dijadikan sebagai permulaan berkembangnya kesultanan Islam, yakni mulai pada tahun 1200. Disinilah, di Barus, menjadi bagian terpenting dari studi lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang dalam sejarahnya akan melahirkan berbagai tokoh dan ulama yang dapat mengubah bangsa Indonesia dari beragama Budha Hindlu menjadi bangsa terbesar di dunia yang memeluk agama Islam.
Pemilihan Islam sebagai agama bagi rakyat di Nusantara, sebenarnya bermula dari rasa kekecewaan atas melemahnya imperium Majapahit tatkala ditinggalkan oleh Mahapatih Gadjah Mada pada tahun 1356. Dan yang lebih menakjubkan adalah proses pemilihan ini melalui hati sanubari dan pikiran bangsa Indonesia, tanpa adanya paksaan dari luar dan kekuatan dari militer yang menyertai masuknya Islam ke Nusantara.

Proses pemilihan ini pada tahap selanjutnya membentuk lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah. Lembaga pendidikan ini melahirkan sejumlah ulama yang tidak hanya diakui oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan telah mendapat pengakuan dunia internasional dengan bukti telah menjadi guru besar di Makkah. Makkah dalam periode itu masih menjadi rujukan utama dalam keilmuwan dunia Islam. Hamzah Fansuri adalah salah satu contoh ulama asli Indonesia yang  ketinggian keilmuwannya telah mendapat pengakuan di Makkah. Di dalam perkuburan Bab al-Ma’la, komplek perkuburan keluarga dan sahabat Nabi, ditemukan inskripsi di Batu Nisan Hamzah Fansuri. Di batu nisan tersebut, disebutkan bahwa Hamzah Fansuri diakui kebesarannya.


Sumber : Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren. Jakarta : LP3ES, 2015.

Sunday, February 7, 2016

Islamku Islam Anda Islam Kita

Oleh : KH. Abdurrahman Wachid (alm)

Saat membaca kembali makalah­makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak dis­kusi, penulis mendapati pandangan-­pandangannya sendiri ten­tang Islam yang tengah mengalami perubahan-­perubahan besar. Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun-­tahun 50­ an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-­tahun 60­an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun­tahun 70­an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengam­ bil berbagai ideologi non­agama, serta berbagai pandangan dari agama-­agama lain.

Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekali­gus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesama­ an pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengemba­ raan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran­pikir­ an sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain. 
Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa me­miliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan mem­bunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

----

Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan ke­ hendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya se­ bagai satu­satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiri­ tual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal­hal irra­ sional itu benar­benar terjadi dalam kehidupan nyata. 

Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasu­ ruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing­-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pu­lang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang ­rombongan lain. 

Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan ke­ matian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyun­duyun ke alun-­alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja­kursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pi­ kiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “ke­ benaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasar­ kan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.

-----

Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-­keharusan rasional untuk di­ laksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedang­ kan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya kare­ na ia menyatakan pikiran­pikiran tentang masa depan Islam. 

Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Is­lam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena pe­rumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada. 
Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksa­ kan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan sega­ la sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi­lslam”, yang oleh orang­orang terse­ but hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideo­ logi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal­hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, me­ lalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksa­ an pandangan? Cukup jelas, bukan? h