Tuesday, February 16, 2016

Sunday, February 14, 2016

Wednesday, February 10, 2016

Kitab Karya Ulama Nusantara

PESANTREN DAN ISLAMISASI NUSANTARA


Pada Milenium ketiga Masehi, Islam tetap menjadi agama mayoritas di negeri Indonesia ini, dan mungkin akan tetap demikian hingga akhir dunia ini. Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak yang ada di dunia.
Sebagaimana hasil tidak akan jauh dari usaha, proses Islamisasi negeri yang dulunya dikenal dengan sebutan Nusantara ini juga sangatlah menakjubkan. Proses ini merupakan satu fase yang tak terpisahkan dalam menuju sebuah peradaban Indonesia modern. Proses ini sangat luar biasa, mengingat proses perluasan Islam di wilayah ini terjadi tatakala pusat peradaban Islam di Timur Tengah sedang berada dalam kemunduran kekuatan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Proses ini berlangsung antara abad ke-13 sampai dengan abad ke-16.
Di dalam buku Tradisi Pesantren, Zamakhsyari Dlofir mencatat bahwa Pesantren merupakan anak panah dari proses penyebaran Islam ke seluruh pelosok negeri. Pesantren lah yang menentukan corak dan watak dari kesultanan-kesultanan yang ada di Indonesia. Di lembaga pesantren itu pula ditemukan manuskrip-manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara. Sehingga untuk dapat mengetahui sejarah Islamisasi di wilayah Nusantara, haruslah memulainya dengan mempelajari lembaga-lembaga pesantren.
Barus, suatu daerah di Sumatera Utara, disebut-sebut telah berkembang menjadi daerah Kosmopolitan dari abad ke-10 hingga abad ke-15. Hal ini ditandai dengan ditemukannya beberapa inskripsi yang berbahasa Arab dan sebagian berbahasa Parsi. Pada abad itu, Islam berkembang menjadi kekuatan besar yang menakjubkan dan menjadikan kawasan Indonesia menjadi kawasan yang paling dinamis. Hal ini dicatat oleh Anthony Reid dalam bukunya Southeast Asia in The Age of Commerce. Barus dikenal sebagai kawasan pengekspor minyak wangi yang disukai oleh para bangsawan dan pangeran Arab, Persia, dan Cina, bahkan bangsawan Cina telah menyukai minyak wangi Barus sejak abad ke-6.
Karena pengguna minyak wangi Barus adalah para pangeran dan bangsawan dari negeri yang paling maju dan dinamis, maka harga dari minyak wangi Barus dapat dipastikan sangat mahal harganya. Ada sebuah tradisi yang berkembang di dunia Muslim, bahwa para pedagang muslim menyediakan amal jariyyah bagi ulama yang bersedia menemani para pedagang untuk tinggal dan mengembangkan aktivitas serta pengajaran pendidikan Islam di daerah asalnya, yakni di Barus.
Para ulama’ atau syaikh yang mengiringi ke Barus diyakini memiliki keilmuwan yang tinggi. Pasalnya dalam 200 tahun kemudian, di wilayah ini sudah dapat menumbuhkan kesultanan Lamreh menjelang tahun 1200. Di kekuasaan kesultanan inilah, kemudian oleh Ricklefs dijadikan sebagai permulaan berkembangnya kesultanan Islam, yakni mulai pada tahun 1200. Disinilah, di Barus, menjadi bagian terpenting dari studi lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang dalam sejarahnya akan melahirkan berbagai tokoh dan ulama yang dapat mengubah bangsa Indonesia dari beragama Budha Hindlu menjadi bangsa terbesar di dunia yang memeluk agama Islam.
Pemilihan Islam sebagai agama bagi rakyat di Nusantara, sebenarnya bermula dari rasa kekecewaan atas melemahnya imperium Majapahit tatkala ditinggalkan oleh Mahapatih Gadjah Mada pada tahun 1356. Dan yang lebih menakjubkan adalah proses pemilihan ini melalui hati sanubari dan pikiran bangsa Indonesia, tanpa adanya paksaan dari luar dan kekuatan dari militer yang menyertai masuknya Islam ke Nusantara.

Proses pemilihan ini pada tahap selanjutnya membentuk lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah. Lembaga pendidikan ini melahirkan sejumlah ulama yang tidak hanya diakui oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan telah mendapat pengakuan dunia internasional dengan bukti telah menjadi guru besar di Makkah. Makkah dalam periode itu masih menjadi rujukan utama dalam keilmuwan dunia Islam. Hamzah Fansuri adalah salah satu contoh ulama asli Indonesia yang  ketinggian keilmuwannya telah mendapat pengakuan di Makkah. Di dalam perkuburan Bab al-Ma’la, komplek perkuburan keluarga dan sahabat Nabi, ditemukan inskripsi di Batu Nisan Hamzah Fansuri. Di batu nisan tersebut, disebutkan bahwa Hamzah Fansuri diakui kebesarannya.


Sumber : Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren. Jakarta : LP3ES, 2015.

Sunday, February 7, 2016

Islamku Islam Anda Islam Kita

Oleh : KH. Abdurrahman Wachid (alm)

Saat membaca kembali makalah­makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak dis­kusi, penulis mendapati pandangan-­pandangannya sendiri ten­tang Islam yang tengah mengalami perubahan-­perubahan besar. Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun-­tahun 50­ an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-­tahun 60­an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun­tahun 70­an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengam­ bil berbagai ideologi non­agama, serta berbagai pandangan dari agama-­agama lain.

Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekali­gus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesama­ an pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengemba­ raan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran­pikir­ an sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain. 
Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa me­miliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan mem­bunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

----

Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan ke­ hendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya se­ bagai satu­satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiri­ tual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal­hal irra­ sional itu benar­benar terjadi dalam kehidupan nyata. 

Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasu­ ruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing­-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pu­lang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang ­rombongan lain. 

Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan ke­ matian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyun­duyun ke alun-­alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja­kursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pi­ kiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “ke­ benaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasar­ kan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.

-----

Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-­keharusan rasional untuk di­ laksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedang­ kan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya kare­ na ia menyatakan pikiran­pikiran tentang masa depan Islam. 

Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Is­lam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena pe­rumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada. 
Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksa­ kan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan sega­ la sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi­lslam”, yang oleh orang­orang terse­ but hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideo­ logi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal­hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, me­ lalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksa­ an pandangan? Cukup jelas, bukan? h